Wednesday, August 13, 2014

Menjadi Manusia Beragama, atau Beragama agar Menjadi Manusia?

Menjadi Manusia Beragama, atau Beragama agar Menjadi Manusia?

Judul ini sengaja saya pilih setelah melihat banyak pertunjukkan kekerasan dilakukan yang menyertakan atribut dan simbol-simbol agama/keyakinan. Jika harus menyajikan data jujur saya enggan, karena hanya menyudutkan beberapa agama/kepercayaan tertentu yang langganan menjadi pemberitaan yang terkait persoalan kekerasan yang didalamnya kepercayaan tertentu tersebut seolah menjadi bahan bakarnya.
Tujuan saya menulis materi ini  hanya sekedar mempertanyakan mengapa manusia beragama?

Sebelum menjawab sendiri mengapa manusia beragama, saya ingin menyajikan paparan yang cukup memprihatikan yaitu beberapa issue dalam agama yang cukup populer dijadikan dalil untuk tindak kekerasan adalah (menurut pengamatan saya ) :

1. Karena berbeda itu sendiri  : beda sering diidentikan sebagai kelompok yang tidak sepaham, mengancam       eksistensi keberadaan agama/keyakinan tertentu, bentuk ancaman :  mengubah keyakinan agama, diskriminasi peran sosial dan akses ekonomi, bahkan konflik horisontal. Inti permasahan : Kecurigaan! Trauma masa lalu! Hilangnya peran sosial.

2. Alasan politis,  agama/kepercayaan keluar dari ranah pribadi menjadi ranah sosial yang sengaja dipelihara dan dikuatkan bahkan sebenarnya juga dimanfaatkan untuk mengalang kekuatan (baca: kekuatan politik.) Inti permasalahan baru : kekuasaan (siapa yang diutungkan?)

3. Nalar dan daya Kristis yang kondisikan tidak terjadi pada dirinya, demi terkontrolnya para penganut/umat/kelompok kepercayaan melalui magnit legitimasi para pemimpin umat menjadi ukuran. Daya Kristis menjadi "terlarang" tanpa melalui seleksi ketat kelompok "Klerus" yang lebih dekat dengan yang "ilahi". Jika daya Kritis muncul maka kelompok tersebut dianggap sempalan, atau kaum liberal dari komunitas kepercayaan. Tapi kelompok ini sering juga mendapat tekanan dan tindak kekerasan.

4.  Kekerasan Terstruktur sebagai respon terhadap sejarah kekerasan yang dialami pendiri agama.
Kondisi ini sebenarnya sebagai sebuah kekacauan terselubung, jika wujud tekanan menjadi pembentuk dominan munculnya agama, maka warisan kekerasan akan menjadi laten. Meskipun muncul cendikiawan yang mengutamakan objektifitas sekalipun, kebocoran dan rembesan laten kebencian tidak akan mudah terbendung.

5. Takut, rasa takut adalah kekuatan besar yang mendorong orang melakukan segala upaya menolaknya. Ketakutan dapat membunuh rasionalitas seorang profesor sekalipun. Selama ketakutan mempunyai sengat selama itu ia berdaya untuk menentukan apapun. Ketakutan akan kematian dan segala tafsir dibalik pristiwa kematian, membentuk prilaku yang kadang sulit dipahami. Hal terakhir ini seperti menjadi resep jitu yang dipakai untuk mengontrol tindakan kelompok terhadap dirinya dan di luar dirinya.

Lalu untuk apa kita beragama? 1. Mengejar puncak hirarki menjadi penguasa, 2. menghamba pada dogma tanpa daya kritis, 3 melepaskan rasa ketakutan?

Seadainya manusia memahami kemanusiaan dengan baik, lalu melihat kemanusiaan orang dengan paham yang sudah baik, sebenarnya menjadi manusia sebuah perjuangan yang paling mulia. Kepercayaan atau agama yang baik seharusnya mampu menjadikan manusia menjadi manusia!

Salam.